Monday, November 28, 2011

Selesaikan Masalah Papua Secara Martabat

0 comments
Hari Senin, 28 November 2011, pukul 10.00, PGI mengadakan jumpa pers di Kantor Pusat PGI, Jl. Salemba Raya no. 10, Jakarta Pusat. Dalam jumpa pers tersebut hadir dari beberapa lembaga, antara lain:

  1. Pdt. Gomar Gultom, M.Th (Sekum PGI)
  2. Jeirry Sumampow (Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI)
  3. Daniel Randongkir (Elsham Papua)
  4. Pdt. Wellem Maury (PGGP)
  5. Usman Hamid (KontraS)
  6. Syamsul Alam (KontraS)
  7. Joshtin Telik (Sekum PP GMKI)

Dari hasil paparan narasumber, khususnya dari PGGP dan Elsham Papua, mereka memberikan kesimpulan sebagai berikut:

PGGP dan Elsham Papua berkesimpulan bahwa tragedi kekerasan yang sesungguhnya terjadi di Lapangan Zakeus Abepura pada 19 Oktober 2011, merupakan bentuk penyerbuan brutal oleh para aparat POLRI dan TNI terhadap rakyat Papua yang menyelenggarakan kegiatan politik secara damai. Polisi sama sekali tidak mengikuti ketentuan standar Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009, khususnya Pasal 10 dan 11.

Aparat TNI/POLRI diduga kuat telah: melakukan penembakan kilat yang menewaskan 3 orang dan melukai sedikitnya 2 orang; Menangkap dan menahan secara sewenang-wenang, serta melakukan penyiksaan terhadap sedikitnya 387 orang yang dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Papua; Mengintimidasi dan melakukan tindakan rasial melalui ucapan yang melecehkan umat Nasrani maupun Muslim termasuk ucapan yang merendahkan martabat manusia; Merusak fasilitas dan mencuri harta benda orang lain.

Berdasarkan keterangan fakta tersebut, kami menyerukan dan merekomendasikan:

  1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia segera membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia pasca pelaksanaan KRP III, serta mengkomunikasikannya dengan jajaran Menko Polhukkam agar ada pertanggungjawaban hukum yang terbuka melalui proses hukum yang adil.
  2. Pemerintah Selandia Baru agar meninjau kembali Perjanjian Kerjasama dengan Kepolisian Indonesia dalam mencegah dan memerangi Kejahatan Transnasional yang disetujui pada 7 Januari 2011.
  3. Pemerintah Australia agar meninjau kembali Nota Kesepahaman Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara dan Pengembangan Kerjasama Kepolisian yang disetujui pada 18 November 2005.
  4. Pemerintah Amerika Serikat agar meninjau kembali program International Military Education and Training (IMET) dengan pemerintah Indonesia, karena tidak berhasil menciptakan aparat yang menghargai prinsip dan nilai hak asasi manusia.
  5. Pemerintah Indonesia memberikan kesempatan bagi Amnesty International agar mengunjungi Papua dan bertemu dengan para tahanan politik.
  6. Pemerintah Indonesia segera mengundang Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Penyiksaan, Pelapor Khusus PBB tentang Penembakan Kilat, Pelapor Khusus PBB tentang Pencegahan Diskriminasi Rasial, Pelapor Khusus PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus PBB tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan, agar berkunjung dan bertemu dengan para korban di Papua.
  7. Pemerintah Indonesia segera melakukan Dialog yang setara dan komprehensif, guna menyelesaikan akar permasalahan yang memicu terjadinya konflik di Papua selama lebih dari empat dekade.

Berikut ini Pernyataan Pers yang dikeluarkan PGI:


Editor: Boy Tonggor Siahaan

Monday, November 7, 2011

Berjuang Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan

0 comments
Konsultasi Teologi Nasional PGI di Wisma Bahtera, Cipayung (31 Oktober – 4 November 2011) telah berakhir. Para teolog, yang telah mengeluarkan tenaga dan pikirannya, telah menghasilkan rumusan rencana tindakan bagi gereja-gereja, umat Kristen di Indonesia, dan akademisi teologi.
Selengkapnya hasil rumusan Konsultasi Teologi Nasional PGI dapat dibaca di sini:

BERJUANG MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN KEADILAN
Konsultasi Teologi Nasional Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
Wisma Bahtera, Cipayung (31 Oktober – 4 November 2011)

1.      PENGANTAR
Saatnya telah tiba bagi gereja-gereja Indonesia, bersama dengan seluruh bangsa Indonesia, untuk menegaskan ulang kehidupan-bersama sebagai masyarakat yang majemuk, demi menuju masa depan yang penuh dengan damai sejahtera, sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Penegasan ulang kehidupan-bersama ini merupakan tindakan iman yang berakar pada keyakinan kepada Allah, yang dengan penuh kesetiaan berkarya bagi dunia yang diciptakan-Nya dan dicintai-Nya melalui Yesus Kristus, Kepala Gereja dan Juruselamat, serta di dalam kuasa Roh Kudus yang menghidupi seluruh ciptaan. Tindakan iman ini menjadi sebuah komitmen umat Kristen kepada bangsa Indonesia untuk ikut-serta merawat dan memperkaya kehidupan-bersamaKomitmen ini juga mendorong umat Kristen Indonesia untuk mengusahakan kehidupan-bersama tersebut di dalam persaudaraan dengan semua elemen bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku, agama, dan kelompok-kelompok sosial-kultural lain.
Bertolak dari komitmen tersebut, kami, peserta Konsultasi Teologi Nasional, telah berusaha bersama-sama berbagi pengalaman dan cerita, mendengarkan dengan segenap hati berbagai penderitaan yang dialami oleh anak bangsa, serta memahami dengan segala keterbatasan kami akar-akar persoalan kehidupan-bersama bangsa Indonesia. Keprihatinan ini telah kami gumuli bersama-sama melalui Konsultasi Teologi Nasional Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, yang berlangsung di Wisma Bahtera, Cipayung, pada tanggal 31 Oktober sampai dengan 4 November 2011. Konsultasi yang dilaksanakan dengan tema, “Berteologi dalam Konteks: Meretas Jalan menuju Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan,” diikuti oleh 168 orang dari seluruh Indonesia.
            Dari seluruh proses konsultasi tersebut, kami menyatakan keyakinan, pergumulan sekaligus pengharapan kami berkaitan dengan martabat manusia, perdamaian, dan keadilan antargereja dan antaragama, tanggapan atas kebijakan ekonomi Indonesia, serta undangan bagi gereja-gereja dan pendidikan teologi untuk kembali kepada kehidupan.

2.      MENEGASKAN ULANG MARTABAT MANUSIA
Umat Kristen Indonesia diperhadapkan pada kenyataan terjadinya perendahan martabat manusia dan pelanggaran hak asasi dalam segenap aspek kehidupan. Kami menyaksikan dan mengalami berbagai tindak kekerasan, seperti penindasan perempuan, penelantaran anak-anak dan usia lanjut, pengabaian aspirasi kaum muda, penolakan untuk hidup bersama dengan mereka yang berbeda (agama, suku, ideologi, orientasi seksual, dan sebagainya), pengingkaran hak-hak dasar masyarakat adat, serta perusakan lingkungan yang mengancam kehidupan. Keadaan ini diperparah oleh kerakusan sebagai salah satu roh zaman ini yang mendorong kecenderungan manusia untuk hanya memikirkan dirinya sendiri, yang sering kali berakibat pada pengabaian terhadap sesama ciptaan.
Kami menyaksikan juga semakin sistemiknya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang terjadi di berbagai aspek kehidupan-bersama. Semua usaha untuk memperkaya diri sendiri ini semakin memperparah proses pemiskinan bagi banyak rakyat Indonesia. Kami menyaksikan betapa ketidakadilan ini semakin lama semakin dianggap lumrah. Sanksi sosial dan kepastian hukum tidak berlaku lagi. Sebagian anggota masyarakat dan pemerintah bahkan membiarkan keadaan ini terus berlangsung.
Di tengah-tengah kenyataan ini, kami mengakui bahwa umat Kristen, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sering kali gagal mewartakan Injil perdamaian dan keadilan dan bahkan kerap menjadi pelaku dari proses perendahan martabat manusia.
Kami mengakui bahwa martabat setiap manusia di dalam dirinya diberikan oleh Allah Pencipta. Umat Kristen memahami kebenaran ini melalui Yesus Kristus, serta dialami di dalam kuasa Roh Pemberi Kehidupan. Tujuan hidup manusia adalah untuk mengambil bagian ke dalam kehidupan yang Allah berikan kepada seluruh ciptaan.
Tanpa hubungan dengan Allah, manusia tergoda untuk memusatkan hidup kepada dirinya sendiri dan dengan demikian mengalami perendahan martabat hidup. Dosa merupakan sebuah realitas yang nyata di mana hubungan antara manusia dan Allah rusak, yang berakibat pula pada rusaknya gambar-diri manusia, hubungan antara manusia dan sesamanya, dan hubungan dengan seluruh ciptaan lainnya.
Pemulihan hubungan tersebut dimungkinkan oleh karya pendamaian Yesus Kristus, Sang Gambar Allah, di dalam kuasa Roh Kudus. Kehidupan yang baru tersebut terwujud secara nyata melalui kehidupan-bersama yang diwarnai oleh perdamaian dan keadilan yang berwawasan keutuhan ciptaan. Inilah pusat dari Injil Yesus Kristus.
Sebagai persekutuan orang-orang percaya, gereja merupakan salah-satu tanda kehadiran dari misteri ilahi, yang mengundang seluruh ciptaan untuk mengambil bagian ke dalam karya perdamaian dan keadilan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari misi Allah bagi dunia, misi gereja harus dikerjakan dalam kerjasama yang saling menghargai dengan kelompok-kelompok lain. Keterlibatannya dengan dunia memberi kemungkinan ganda bagi gereja, baik untuk menghadirkan Injil, maupun untuk terjatuh ke dalam dosa dan kesalahan dunia. Itu sebabnya, gereja harus sungguh-sungguh menggantungkan diri pada anugerah Allah dan menaati undangan pertobatan untuk kembali kepada panggilannya.
Umat Kristen Indonesia dipanggil untuk berani menyampaikan suara kenabian yang kritis di tengah realitas perendahan martabat manusia, tanpa kehilangan kesediaannya untuk melakukan proses transformasi dan koreksi diri atas pemahaman dan praktik hidup yang berlawanan dengan nilai-nilai Injil yang berpusat pada kehidupan. Umat Kristen Indonesia perlu mempertegas keberpihakannya pada mereka yang direndahkan martabatnya, yang dikerjakan secara dialogis dan tanpa kekerasan dengan berbagai kelompok masyarakat.

3.      MERAYAKAN KEHIDUPAN-BERSAMA
Kami menyaksikan bahwa angka pertumbuhan dan pertambahan gereja telah meningkat pesat belakangan ini. Kini, tak semata-mata hanya ada PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), melainkan juga persekutuan-persekutuan antargereja lain, yang mulai saling mengakui dan menerima. Gerakan oikoumenis gereja-gereja di Indonesia, dalam komitmen untuk merayakan kehidupan-bersama, bahkan telah menghasilkan dokumen Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM-PGI). Dokumen ini merupakan tonggak penting gerakan keesaan gereja di Indonesia agar tidak semata-mata bergerak ke arah dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri. Perspektif oikoumenis ini tak dapat dilepaskan dari pengakuan akan adanya pluralitas teologi, tradisi dan praktik bergereja. Apa pun latar belakang denominasinya, gereja-gereja dipanggil untuk semakin menyatakan hakikatnya sebagai satu “tubuh Kristus.”
Namun, pengingkaran terhadap keberagaman dan perbedaan denominasi serta praktik bergereja masih berlangsung. Perbedaan pemahaman mengenai baptisan dan perpindahan warga ke gereja lain merupakan dua dari banyak contoh yang bisa membuat hubungan antargereja menjadi tegang. Kerjasama oikoumenis masih terbatas pada kegiatan-kegiatan seperti pertukaran pelayan mimbar, perayaan Paska dan Natal bersama, serta kehadiran dalam pertemuan atau konsultasi-konsultasi. Kerjasama yang lebih signifikan dan strategis masih sangat terbatas dan perlu ditingkatkan.
Di lingkungan agama-agama, keberadaan kelompok garis-keras memperlihatkan bahwa keberagaman agama-agama masih ditolak. Memang, sebagian besar orang mengakui adanya keberagaman identitas sosial, sekalipun diterima secara terbatas. Keberagaman dan perbedaan diakui, namun dilihat dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tak terjadi pergaulan yang saling memperkaya. Larangan beribadah dan penutupan rumah ibadah secara paksa oleh kelompok garis keras semakin banyak terjadi.
Kami mengecam campur-tangan negara ke dalam ranah kehidupan beragama, sebagaimana dicontohkan dari kasus-kasus perumusan dan pelaksanaan perda-perda bermuatan agama yang diskriminatif dan pelarangan agama-agama atau kelompok-kelompok agamawi yang tidak dianggap resmi oleh pemerintah. Umat Kristen Indonesia, bersama-sama dengan umat beragama lain, perlu menuntut penyelenggara negara untuk memenuhi tugas konstitusionalnya untuk menjamin kebebasan beragama, beribadah, dan mendirikan tempat beribadah.
Kami berjuang dan mendukung segala usaha untuk mengembangkan sikap proaktif dan positif dalam memahami umat beragama lain, membangun sikap hormat terhadap umat beragama lain, dan saling bekerjasama demi kebaikan bersama. Tembok-tembok pemisah dengan kelompok-kelompok yang berbeda harus diubah menjadi jembatan yang membawa perdamaian. Kami percaya bahwa pada dasarnya agama-agama mengajarkan kesetaraan, cinta-kasih, keadilan, dan perdamaian.

4.      MENUJU EKONOMI YANG ADIL DAN MEMANUSIAKAN MANUSIA
Keadaan ekonomi pada satu generasi terakhir menunjukkan bahwa kesejahteraan manusia Indonesia secara umum terus membaik dan bahwa sebagian warga Indonesia bahkan menjadi sangat sejahtera, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa masih sangatbanyak rakyat Indonesia yang kurang atau bahkan tidak berhasil menikmati buah-buah pembangunan ekonomi. Fakta bahwa satu dari dua orang Indonesia masih berpenghasilan di bawah dua dollar per hari membuktikan bahwa kebijakan pembangunan Indonesia selama ini masih tidak berpihak kepada orang-orang miskin. Masih banyak kantong-kantong kemiskinan yang terabaikan.
            Kami menyaksikan banyak kebijakan yang lebih ditujukan untuk memfasilitasi kemajuan pertumbuhan ekonomi rakyat yang sudah sejahtera daripada mendorong pelebaran kesempatan bagi rakyat yang miskin untuk mengangkat diri mereka dari kemiskinan.
Sehubungan dengan ekonomi, teologi Kristen berpijak pada ketegangan di antara dua kutub pengalaman manusia, yaitu kenyataan kemiskinan yang meluas dan harapan kesejahteraan untuk semua orang. Sehubungan dengan kemiskinan, secara eksplisit Allahmemerintahkan para pemimpin rakyat untuk “melepaskan orang miskin yang berteriak minta tolong, orang yang tertindas … orang lemah, dan orang miskin”(Mzm72:12-14). Bahkan, secara spesifik, semua orang dilarang untuk “memeras pekerja harian yang miskin dan menderita” (Ul. 24:14). Dalam hal kesejahteraan, Allah menghendaki seluruh umat-Nya hidup di dalam kesejahteraan bersama dan mengupayakannya (bdk. Ul. 4:37-40; Yer. 29:7).
Kami mendesak para penyelenggara negara untuk mempertahankan, menciptakan, menerapkan, dan melanjutkan kebijakan-kebijakan ekonomi di tingkat nasional dan daerah yang memberi kesempatan yang sama bagi semua rakyat Indonesia dan berpihak kepada kelompok-kelompok rakyat yang paling miskin. Pemihakan ini harus dilakukan melalui dibukanya kesempatan seluas mungkin kepada orang miskin untuk menggapai kesejahteraan yang setinggi-tingginya.
Kami percaya bahwa semua orang berhak memperjuangkan kesejahteraan mereka sendiri, selama tidak merugikan ciptaan lain. Bersamaan dengan itu, kami mendesakkepada para penyelenggara negara untuk menghapuskan dan tidak membuat kebijakan-kebijakan yang menghambat pemerataan kesejahteraan dan yang secara diskriminatif hanya menguntungkan segolongan pihak, sementara banyak rakyat miskin menjadi korban.
            Kami menyerukan kepada umat Kristen Indonesia untuk menyatakan sikap pemihakan yang jelas bagi orang miskin, sikap kritis terhadap proses perumusan dan pemberlakuan kebijakan ekonomi, serta sikap hidup yang jujur, hemat, dan kerja keras. Seluruh sikap tersebut harus terwujud di dalam kehidupan pribadi, keluarga, komunitas, masyarakat, dan negara. Kami menegaskan perlunya sikap waspada atas dampak-dampak negatif dari sistem ekonomi pasar bebas dan kapitalisme.

5.      UNDANGAN UNTUK MEMIHAK KEHIDUPAN
Kami mengakui bahwa gerakan oikoumene (kebersamaan antargereja) yang dikembangkan di Indonesia ternyata baru sebatas kegiatan-kegiatan seremonial, namun belum terwujud ke dalam karya-karya sosial yang menjawab kebutuhan gereja dan masyarakat. Keadaan ini lebih diperparah dengan makin maraknya perpecahan yang terjadi di dalam tubuh gereja. Keadaan ini tidak bisa dilepaskan dari pendidikan teologi yang kurang merespons kebutuhan aktual warga gereja dan memelopori perkembangan teologi yang kontekstual.
Allah berpihak kepada kehidupan bagi semua ciptaan-Nya, terutama mereka yang  menderita, tersisih, dan tertindas. Dalam konteks Indonesia, respons kasih kepada sesama harus diarahkan kepada orang miskin, penganut agama-agama yang tertindas, daerah-daerah tertinggal dan perbatasan, pekerja migran, orang berkebutuhan khusus, korban bencana alam, orang yang hidup dengan HIV/AIDS, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transjender/transseksual), kaum perempuan yang mengalami diskriminasi dan penindasan, para korban perdagangan manusia, dan masih banyak lagi. Kepedulian terhadap lingkungan yang sekaligus menjadi sumber penunjang kehidupan perlu diarahkan kepada pencegahan pengrusakan hutan tropis, pemunahan margasatwa, eksploitasi sumberdaya alam, polusi, dan pemanasan global.
Upaya untuk mengatasi dan merespons permasalahan tersebut membutuhkan cara berteologi yang baru, yang berkaitan dengan semangat oikoumenis dalam relasi dengan sesama ciptaan. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM-PGI) yang sudah disepakati bersama dapat menjadi kerangka acuan bagi gerakan oikoumenis. Untuk itulah, kami percaya bahwa semua warga gereja, khususnya generasi muda, perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan semangat oikoumenis melalui berbagai cara.
Perguruan teologi merupakan agen utama dalam mensosialisasikan dan mengembangkan cara-cara berteologi yang baru, sejalan dengan teologi sebagai ilmu yang terbuka untuk semua orang. Untuk itu, kami menyerukan agar perguruan teologi merevisi dan mengembangkan kurikulum yang dapat mengakomodasi perubahan yang sedang berlangsung. Dalam konteks ini perlu dikembangkan juga teologi feminis, teologi lingkungan, dan teologi agama-agama.

TIM PERUMUS:
Abraham Silo Wilar
Albertus Patty
Augustien Kaunang
Dien Sumiyatiningsih
Elga Sarapung
Joas Adiprasetya (ketua)
Olvi Prihutami
Rainy Hutabarat
Samsudin Berlian

Sumber: Bidang Koinonia PGI
Editor: Ir. Boy Tonggor Siahaan, S.Si (Teol.), M.Min 


Hentikan Kekerasan dan Segera Agendakan Dialog Jakarta - Papua

0 comments
Tanggal 7 November 2011, pkl. 10.00, di ruang sidang kantor PGI, Jl. Salemba Raya no. 10, Jakarta Pusat, PGI menggelar konferensi pers di mana MPH-PGI, dalam hal ini diwakili Sekretaris Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, bersama staf sekretaris eksekutif lainnya mengeluarkan pernyataan pers terkait masalah kekerasan di Papua.
Berikut ini Pernyataan Pers PGI:

PERNYATAAN PERS
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)

Hentikan Kekerasan Dan
Segera Agendakan Dialog Jakarta-Papua

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam beberapa minggu terakhir eskalasi tindak kekerasan di Papua semakin tinggi. Khususnya terkait dengan berbagai aksi masyarakat sipil yang menyatakan ketidakpuasan atas keadaan yang mereka alami, baik unjuk rasa yang dilakukan oleh Serikat Pekerja di PT Freeport, Timika maupun aksi damai Kongres Papua III di Abepura, Jayapura pada 16-19 Oktober 2011 yang lalu.
Meski kedua aksi ini tidak terkait satu sama lain, namun Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) melihat bahwa hal ini akibat KEGAGALAN strategi pembangunan yang diterapkan Pemerintah R.I. atas warganya di Papua dan Papua Barat. PGI memandang bahwa Pemerintah telah gagal menyejahterakan rakyat Papua, yaitu penduduk asli Papua, secara menyeluruh. Pelaksanaan UU No. 21/th. 2001 tentang OTSUS Papua pun tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh Pemerintah R.I.
Alhasil, penduduk asli Papua masih merasa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah dan merasa direnggut kemerdekaannya di tanahnya sendiri, bahkan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh aparat keamanan karena dituduh berbuat makar. Sementara itu, Pemerintah mengijinkan kekayaan tanah Papua dieksploitasi tanpa membagi hasilnya secara adil kepada rakyat Papua. Itulah sebabnya mereka melakukan aksi unjuk rasa untuk meminta perhatian Pemerintah R.I. atas ketidakadilan yang mereka alami selama ini.
Namun disayangkan, Pemerintah R.I, melalui institusi POLRI dan TNI  justru menjawab berbagai aksi damai tersebut dengan pengerahan kekuatan militer yang berlebihan, khususnya atas peserta Kongres Papua III, yang mengakibatkan 3 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Tidak lama berselang, pada 24 Oktober lalu kembali lagi terjadi pembunuhan putra Papua, yaitu AKP Dominggus Awes, Kapolsek Mulia oleh dua orang tak dikenal. Dan kembali lagi, pada 2 November kemarin, anggota TNI dari Pos Kurukulu Batalyon 759 di Jayawijaya melakukan penyisiran yang diserta penyiksaan terhadap warga sipil setempat.
Atas berbagai kejadian tersebut, PGI menyatakan penyesalan atas tindak kekerasan yang terjadi dan menyatakan belasungkawa kepada keluarga korban meninggal yang ditinggalkan.
Melalui pernyataan ini, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menyerukan:
1.      Agar semua pihak menghentikan segala bentuk tindak kekerasan di Papua dan Papua Barat karena lingkaran kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan namun hanya akan mengakibatkan persoalan baru;
2.      Meminta Bapak Presiden RI, Dr. H. Susilo B. Yudhoyono untuk menghentikan seluruh operasi militer, termasuk menghentikan penyisiran dan penganiayaan terhadap warga Papua pasca peristiwa kekerasan pada Kongres Rakyat Papua III;
3.      Meminta realisasi konkret perkataan Presiden RI, Dr. H. Susilo B. Yudhoyono, untuk melakukan pendekatan dengan hati dan komunikasi konstruktif untuk membangun Papua;
4.      Agar segera dilakukan dialog Jakarta-Papua sebagai komitmen untuk menyelesaikan persoalan kekerasan di Papua;
5.      Mendesak Presiden agar Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B) sesegera mungkin dapat melaksanakan upaya-upaya strategis bagi penyelesaian masalah di Papua secara damai.

Jakarta, 7 November 2011
Atas nama
Majelis Pekerja Harian - PGI


Pdt. Gomar Gultom
Sekretaris Umum

 

The Gospel of Melanesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com