Friday, February 17, 2012

Pernyataan Dewan Gereja-gereja Se-Dunia tentang Situasi di Tanah Papua (Indonesia)


Pernyataan Dewan Gereja-gereja Se-Dunia tentang Situasi di Tanah Papua (Indonesia) 


  1. Lanskap politik dan yurisdiksi Indonesia telah berubah secara positif sejak negara ini mengalami proses demokratisasi di akhir 1990-an. Namun situasi politik dan hak azasi manusia di Tanah Papua tidak berubah.  Selama beberapa tahun terakhir orang-orang Papua menuntut kebebasan berekspresi dan hak untuk menentukan nasib sendiri, tapi tuntutan mereka atas hak legitimasi mereka terus menerus ditekan oleh pemerintah Indonesia. Terlepas dari fakta bahwa Tanah Papua adalah salah satu daerah terkaya dunia dalam hal sumber daya alam, masyarakat Papua tidak mendapat manfaat dari sumber daya alam yang kaya itu, melainkan, mereka bahkan menderita keterbelakangan serta kurangnya perlindungan atas ekonomi, social dan budaya mereka.
  2. Orang Papua telah mengungkapkan keluhan-keluhan mereka tentang keterbelakangan daerah mereka, pemiskinan ekonomi, kurangnya fasilitas yang memadai untuk perawatan kesehatan dan pendidikan, pelanggaran terang-terangan atas HAM, dan eksploitasi sumber daya alam oleh konglomerat Indonesian maupun multinasional yang menyebabkan degradasi lingkungan. Orang Papua sangat prihatin tentang kurangnya kesempatan kerja bagi orang pribumi. Pengusaha, apakah itu pemerintah atau swasta, lebih memilih (menyukai) warga Indonesia yang telah berimigrasi ke Papua daripada orang Papua sendiri. Jadi dimana transmigrasi membawa kegiatan ekonomi baru, penduduk asli Tanah Papua kehilangan tanah mereka, identitas budaya dan menjadi sebuah komunitas yang terpinggirkan di tanah mereka sendiri. Berbagai organisasi HAM telah melaporkan bahwa orang Papua masih mengalami penyiksaan, perlakuan buruk, penangkapan sewenang-wenang dan perlakuan tidak adil oleh militer Indonesia dan polisi. Pelanggaran berat dan sistematis atas HAM karena proses militerisasi yang merajalela di wilayah ini telah meniadakan hak orang-orang Papua untuk hidup damai sejahtera di tanah milik nenek moyang mereka.
  3. Sebuah UU Otonomi Khusus 21/2001 diperkenalkan di Papua dalam menanggapi keluhan masyarakat setempat dengan tujuan untuk memecahkan masalah status politik Papua melalui cara-cara damai, menghormati HAM dan martabat manusia. Namun fakta menunjukkan bahwa UU Otsus ini belum dilaksanakan secara konsisten oleh Pemerintah Indonesia. Akibatnya penduduk asli Papua masih merasa bahwa mereka diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Indonesia dan diperlakukan tidak manusiawi oleh aparat keamanan. Dalam situasi ini bahwa kelompok-kelompok masyarakat sipil dan gereja, yang bersama-sama mewakili pendapat mayoritas Papua, bersatu mengenai maksud intermediary tunggal: menolak UU Otonomi Khusus. Mereka mewakili pendapat mayoritas orang Papua: bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri adalah solusi utama untuk masa depan penduduk asli Papua untuk hidup dalam damai dengan martabat dan kebebasan di tanah mereka sendiri.
  4. Aspirasi mayoritas rakyat Papua atas hak mereka untuk menentukan nasib sendiri telah diungkapkan secara kosisten selama bertahun-tahun. Konsensus Kolektif Nasional Papua  menyampaikan petisi kepada Sidang PBB pada September 2010 untuk memasukkan dalam pengaturan tempat untuk pelaksanaan bebas hak untuk menentukan nasib sendiri, sehingga penduduk asli Tanah Papua dapat secara demokratis memutuskan tentang masa depan mereka sendiri sesuai dengan standar internasional HAM, prinsip-prinsip standar hukum internasional dan Charter of the United Nations. Mereka juga mendesak Sidang  PBB untuk campur-tangan di Papua dengan Permanent Observer Mission (Misi Pengamat Tetap) untuk mengawasi Referendum.
  5. Situasi di Tanah Papua memburuk karena kawasan itu kembali menyaksikan peningkatan kekerasan selama berbulan-bulan terakhir ini. Konflik dan ketegangan antara penduduk asli Papua dan polisi Indonesia menyebabkan pembunuhan beberapa warga sipil pada bulan Oktober tahun lalu. Tindakan kekerasan terhadap sebuah pertemuan damai rakyat Papua melibatkan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional oleh pasukan keamanan Indonesia, secara brutal memukuli dan membunuh warga sipil yang tak bersenjata pada tgl. 19 Oktober 2011. Eskalasi tragis dalam ketegangan ini sekali lagi menimbulkan wake-up call ke Indonesia dan masyarakat internasional, bersikeras bahwa keluhan-keluhan masyarakat Papua harus ditangani tanpa penundaan lebih lanjut.
  6. WCC Commission of the Churches on International Affairs (CCIA) memantau situasi di Tanah Papua selama beberapa tahun terakhir ini. Beberapa kunjungan oleh staff dan tim solidaritas telah diselenggarakan oleh WCC pada tahun-tahun terakhir ini. Kunjungan terakhir dilakukan pada Juli 2008 sebagai bagian dari WCC Living Letters Team Visit.  Pimpinan  gereja anggota WCC di Papua, Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI-TP) memohon kepada WCC agar  menemani orang Papua dalam pergumulannya demi hak azasi manusia dan martabat kemanusiaan dan perjuangan mereka demi perdamaian dan keamanan. Sejumlah gereja dan organisasi oikoumenis berhubungan kepada WCC dan CCA terlibat dalam advocacy tentang pergumulan orang Papua untuk perdamaian yang ber- keadilan dan HAM. Gereja-gereja di Papua, terlepas dari identitas keagamaan mereka, kuatir mengenai situasi disana dan menyampaikan pesan perdamaian.
  7. Gereja-gereja di Indonesia dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) senantiasa dan tetap mendukung resolusi damai tentang permasalahan di Tanah Papua. Pada beberapa kesempatan PGI dan gereja-gereja anggotanya mengutuk kekerasan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Pada Oktober tahun lalu PGI mengeluarkan pernyataan mengutuk kekerasan terhadap orang Papua dan meminta tindakan segera untuk menetapkan dialog Jakarta-Papua sebagai komitmen untuk menyelesaikan tindakan kekerasan di Tanah Papua. Karena situasi di Tanah Papua semakin tegang pada Oktober 2011, CCIA/WCC berkonsultasi dengan pimpinan PGI, anggota-anggota Central Committee WCC Indonesia dan CCA tentang memburuknya situasi di Tanah Papua dan guna mendapatkan cara untuk menangani situasi kritis HAM, khususnya cara advocacy ekumenis di Tanah Papua.
  8. Dewan Gereja Dunia percaya bahwa pada jalan menuju pembentukan damai dan keadilan, sangatlah penting untuk mengatasi konflik, kekerasan dan pelanggaran HAM supaya damai dan keamanan serta hak untuk hidup dan martabat manusia bagi semua manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dapat dibangun. Sebagai anggota masyarakat yang menyatakan Kristus sebagai perwujudan perdamaian, kita dipanggil untuk menegakkan nilai-nilai perdamaian dengan keadilan dan membawa pesan karunia Illahi perdamaian dalam konteks kekerasan dan konflik. Kami percaya bahwa dosa-dosa kekerasan dan konflik memisahkan manusia dan masyarakat dan menolak HAM dan martabat manusia. Pengakuan akan martabat ini dan hak-hak berpusat pada pengertian  kita akan keadilan dan perdamaian. Pesan dari Pertemuan Perdamaian Internasional Ekumene (Ecumenical Peace Convocation) mengingatkan kita tentang fakta bahwa “Kami menyaksikan pergumulan demi kemerdekaan, keadilan dan HAM dalam banyak hal dimana orang yang berani berjuang tanpa perhatian global. Konteks Tanah Papua adalah satu diantara banyak hal yang memerlukan  perhatian kita.



Terhadap latarbelakang ini, komite eksekutif WCC, mengadakan rapat di Jenewa, Swiss, 14-17 February 2012:

A. Menyatakan keprihatinan mendalam atas situasi yang memburuk mengenai pelanggaran HAM di Tanah Papua.

B. Meminta pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah yang diperlukan guna membebaskan tahanan politik, mengangkat larangan berkumpul secara damai Rakyat Papua dan untuk mendemiliterisasi Tanah Papua.

C. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan langkah yang diperlukan untuk masuk ke dalam dialog dengan orang asli Papua dan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk melindungi hak-hak mereka dan untuk memberikan kebutuhan dasar mereka dan hak mereka sebagai penduduk asli Tanah Papua.

D. Mendesak Pemerintah Indonesia untuk memastikan bahwa angkatan bersenjata Indonesia  menghentikan pembunuhan dan membuat cacat tubuh atau mental terhadap orang Papua dan pencabutan HAM orang Papua.

E. Memuji gereja-gereja dan mitra-mitra ekumenis yang terlibat dalam advokasi global untuk perdamaian, keamanan dan HAM orang Papua

F. Menghimbau agar anggota gereja-gereja DGD memberikan pendampingan jangka   panjang dan juga terlibat dalam advocacy pada perdamaian dan keamanan bagi semua orang Papua dalam pergumulan mereka demi hak untuk hidup dan hak untuk martabat.

G. Berdoa bagi orang dan gereja-gereja Tanah Papua selagi mereka terus terlibat dalam kesaksian kenabian mereka untuk perdamaian, rekonsiliasi dan pengharapan.

0 comments:

Post a Comment

 

The Gospel of Melanesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com