Sunday, December 25, 2011

Surat Terbuka Pemimpin Gereja Tanah Papua Buat Presiden RI

0 comments
Surat Terbuka gereja-geraja Papua untuk SBY, 25 Desember 2011

PIMPINAN GEREJA-GEREJA DI TANAH PAPUA

Menangani Bayi Nasionalisme (Separatisme) Papua Sebagai Hasil “Perkawinan Paksa” Jakarta – Papua
Jakarta Sebagai Penabur dan Pengguna Benih Separatisme Papua
(Pesan Profetis Gereja-Gereja se-Tanah Papua)

Yawan Wayeni, dibunuh pada tanggal 13 Agustus 2009 Oleh Imam Setiawan (mantan Kapolres Yapen), kini Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Papua

“Ya Allah, berikanlah hukumMu kepada raja dan keadilanMu kepada putera raja. Kiranya ia mengadili umatMu dengan keadilan dan orang-orangMu  yang tertindas dengan hukum. Kiranya gunung-gunung membawa damai sejahtera bagi bangsa dan bukit-bukit membawa kebenaran. Kiranya ia memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu, menolong orang-orang miskin tetapi meremukkan pemeras-pemeras (Mazmur 72: 1-4)”

Pertama-tama, kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Presiden Republik Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono yang telah membuka diri dan memberi waktu kepada kami di tengah-tengah padatnya kesibukan negara dalam menghadapi berbagai permasalahan Nasional lainnya. Kedatangan kami pada hari ini difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia karena beberapa peristiwa historis yang penting di masa lalu.

  • Pertama, pernyataan Ketua I Sinode GKI di Tanah Papua, Domine F.J.S Rumainum, dalam Sidang Raya ke-3 Dewan Gereja se-Dunia pada Juli 1961 di New Delhi, India bahwa “Gereja Kristen Injili di Papua ada bersama dengan Dewan Gereja Indonesia”. Pernyataan ini terjadi lima bulan sebelum Trikora, 19 Desember 1961.
  • Kedua, laporan dari Tim Oikumenis Dewan Gereja se-Dunia dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia kepada Presiden B.J. Habibie pada tanggal 25 September 1998 bahwa rakyat Papua ingin berdaulat sebagai negara.
  • Ketiga, Sidang Raya PGI ke-15 di Mamasa, Sulawesi Tengah 2009 mengeluarkan 11 rekomendasi tentang Papua, antara lain: perlunya penegakkan hukum dan HAM di Papua, penghapusan stigma separatisme, dorongan untuk diadakannya dialog nasional Papua-Jakarta sebagai mekanisme demokratis penyelesaian masalah Papua.


Dengan berpijak pada ketiga peristiwa ini, empat Pimpinan Gereja yang mewakili 2/3 penduduk asli Papua pada hari ini menyatakan bahwa penyelesaian masalah Papua harus melibatkan peranan Gereja-Gereja di Papua maupun di Indonesia.

Alasan Kehadiran Pimpinan Gereja: Akar Persoalan Konflik dan Kekerasan di Tanah Papua

Berangkat dari ajaran Kitab Suci (Mazmur 72:1-4) yang dikutib di atas dan peran PGI tadi, kami ingin menyampaikan kepada Bapak bahwa kami sebagai Pimpinan Gereja Papua hadir di sini karena: kekerasan yang terus terjadi terkait bangkitnya Nasionalisme Papua (pemerintah menyebutnya sebagai “separatisme”). Kami, Pimpinan Gereja Papua memandang lahirnya ‘Bayi Nasionalisme’ (separatisme) Papua ini sebagai hasil ‘Perkawinan Paksa’ Jakarta – Papua yang proses sejarahnya tercatat sebagai berikut:


  • 19 Desember 1961, Soekarno yang secara sepihak menguburkan embrio satu negara Papua Barat yang ditetapkan pada 1 Desember 1961 dengan mengumandangkan Trikora; sekaligus menyingkirkan Komite Nasional Papua yang telah mempersiapkan terbentuknya Negara Papua dengan menetapkan simbol-simbol negara yaitu, (a) Bendera Kebangsaan Papua, Bintang Fajar, (b) Lagu Kebangsaan Papua, Hai Tanahku Papua, dan (c) Lambang Negara adalah Burung Mambruk;
  • 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda (tanpa keterlibatan wakil rakyat Papua) menandatangani Perjanjian New York;
  • 1 Oktober 1962, Pemerintah Belanda menyerahkan administrasi pemerintahan kepada UNTEA;
  • 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi pemerintahan ke RI tanpa keterlibatan rakyat Papua;
  • Juli-Agustus 1969, Pemerintah merekayasa PEPERA (Act of Free Choice menjadi Act of No Choice) untuk mengintegrasikan Papua ke Indonesia.
  • Kami mencatat hasil-hasil dari Kongres Rakyat Papua ke-3 pada 19 Oktober 2011 yang telah mereafirmasi gerakan pembebasan rakyat Papua melalui peristiwa 1 Desember 1961 dan kelanjutannya pada Kongres Rakyat Papua I, Musyawarah Besar Rakyat Papua dan Kongres Rakyat Papua II tentang lahirnya PDP dan Panel-Panel sebagai bentuk-bentuk ekspresi dari sebuah gerakan pembebasan rakyat Papua dari semua bentuk-bentuk kekerasan yang mengarah pada suatu bentuk penjajahan sistematis.

Kami menilai peristiwa-peristiwa  sejarah ini yang tidak melibatkan rakyat Papua ini sebagai akar masalah Papua (kekerasan: historis) yang melandasi konflik di Tanah Papua yang terus terjadi sampai dewasa ini.

Wajah Kekerasan Pemerintah Orde Baru 1969 -1998 

Setelah  (kekerasan) Act of Free Choice tahun 1969 yang direkayasa,  pemerintah melaksanakan pembangunan di Papua yang dalam kenyataan,  diterima oleh umat kami sebagai kekerasan multi wajah seperti berikut:

  • Pembangunan bias pendatang  (yang kami menilai sebagai kekerasan ideologis) yang berakibat marginalisasi terhadap penduduk asli Papua, karena dalam kerangka demikian  eksistensi, identitas dan masa depan rakyat Papua tidak diperhitungkan;  semua yang dikerjakan di Papua atas nama pembangunan adalah untuk kepentingan NKRI, seperti di bawah ini:
  • Operasi-operasi militer sejak awal tahun 1960an sampai hari ini; operasi inteligen, status DOM untuk mengamankan pembangunan bias pendatang tadi
  • Kekerasan ekonomi, sosial dan budaya, eksploitasi sumber daya alam
  • Kekerasan pencitraan berupa stigma “ Papua bodoh, separatis, malas, koteka, Gereja Papua mendukung Papua merdeka, Papua komsumtif”, dan lain-lain
  • Kekerasan kultural, yang terlihat dengan  pelarangan buku Papua tentang sejarah dan kebudayaan Papua.

Pembangunan Era Otonomi Khusus:

Saat Otonomi khusus mulai dilaksanakan, kami sebagai Pimpinan Gereja berharap: pemerintah akan jedah; kekerasan akan berhenti. Papua akan pulih secara bertahap. Tetapi justru dalam suasana Otonomi Khusus kekerasan neagara meningkat. Gambaran berikut mencerminkan kekerasan yang dialami umat sejak Otsus diberlakukan.


  • Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat/ Papua Barat;
  • MRP yang dilumpuhkan;
  • Kekerasan Militer yang terus berlanjut seperti yang terlihat dengan: (a) pembangunan /penambahan Batalyon (di Merauke, Nabire dan Wamena);  (b) pelanggaran HAM berat sebagaimana yang terlihat dalam kasus: Wasior (Juni –Juli 2001), Penculikan dan Pembunuhan Theys Eluay (10 November 2001), Peristiwa Wamena (6 Oktober 2000, 2 April 2003); operasi militer di Mantembu-Serui, yang mengakibatkan terbunuhnya warga sipil  Yawan Wayeni pada tanggal 13 Agustus 2009), kekerasan Kapeso (Juni 2010) Abepura Berdarah (Desember 2001, 16 Maret 2006) penembakan/ pembunuhan Pasca Kongres Papua III (19 Oktober 2011);
  • Otsus yang tidak didukung oleh Perdasi dan Perdasus;
  • Pembunuhan Terhadap para Hamba Tuhan (seperti: Pdt. Elisa Tabuni, Agustus 2011;  Pdt. Kinderman Gire, Maret 2011) stigma separatis terhadap Gereja (GKI, Kingmi dan Baptis Papua);
  • Pembiaran terhadap penyimpangan dana Otsus;
  • Pelayanan kesehatan yang buruk, gizi buruk dan penderita HIV/ AIDS yang terus meningkat;
  • Kekerasan terhadap Perempuan Papua yang tinggi, angka kematian ibu dan anak Papua amat tinggi, dan angka pengidap HIV/AIDS pada perempuan dan anak Papua semakin meningkat;
  • Pendidikan yang tidak berkualitas menyebabkan rendahnya SDM Papua;
  • Arus migran yang terus meningkat dan populasi Orang Asli Papua yang tidak bertambah;
  • Diskriminasi dan marginalisasi terhadap Papua di segala bidang kehidupan;
  • Penanganan terhadap Kongres Rakyat Papua yang dengan pendekatan militeristis;


Dampak Kekerasan Atas Nama Pembangunan: Lahirnya Nasionalisme  (Separatisme)

Pengalaman umat kami menjalani  pembangunan yang berwajah kekerasan ini; yang dilakukan secara sistematis dan terencana dengan bantuan masyarakat internasional secara terus-menerus melahirkan “nasionalisme Papua” (menurut Pemerintah Indonesia: separatisme). Kami pimpinan Gereja menilai apa yang sedang  dialami umat ini; tidak bedanya dengan yang dialami orang pribumi di Jawa dan Sumatera dalam tahun 1900an; yang melahirkan nasionalisme orang-orang pribumi Jawa yang mendorong semangat kebangsaan Indonesia. Nasionalisme Jawa (dalam pandangan Belanda yang kebijakannya mempora-porandakan kehidupan orang pribumi Jawa, Sumatera dst adalah “separatisme”).

Sekali lagi, kekerasan-kekerasan ini yang telah lama terjadi (tanpa penyelesaian), melahirkan dan menyuburkan: Nasionalisme Papua, yang menurut kami, perasaan bahwa kami (Orang Asli Papua) tidak diakui, dan tidak diterima sebagai manusia yang setara dalam hukum. Kami “orang asli Papua” bukan bagian dari masyarakat Indonesia, seperti halnya nasionalisme Soekarno, Moh Hata dll, yang lahir dan bertumbuh dalam konteks penindasan dan kekerasan penjajah Belanda.

Keprihatinan Gereja 

Keprihatinan kami sebagai Pimpinan Gereja dalam konteks demikian berangkat dari ajaran Kitab Suci kami (Mazmur 72:1-4) ialah nasionalisme (atau separatisme) ini kemudian dijadikan  sebagai dasar untuk membenarkan pengiriman dan penggunaan pendekatan Keamanan; yang pada gilirannya sedang melahirkan pemusnahan etnis.

Sejumlah Pertanyaan Pimpinan Gereja Kepada  Pemerintah

Berhadapan dengan kenyataan: mata rantai kekerasan tanpa akhir seperti itu yang melahirkan (menyuburkan Nasionalisme Papua), kami Pimpinan Gereja ingin menyampaikan beberapa pertanyaan kepada Bapak Presiden RI:
Kapan pemerintah ini berefleksi dan menghentikan politik “lempar batu sembunyi tangan” menghadapi nasionalisme Papua yang lahir karena tidak tahan menghadapi sistem penindasan Negara? Kapan Pemerintah Indonesia ini  menjadi dewasa dan duduk dan melibatkan ahli dan pakar-pakar nasional dan internasional bisa mengambil tanggung jawab “mengurus bayi nasionalisme Papua tadi.
Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak: tanpa  melibatkan semua unsur masyarakat Papua itu bisa menyelesaikan masalah Papua?

  • Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak:tanpa menyinggung akar persoalan Papua: Pepera / Act of Free Choice yang itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
  • Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak:tanpa menyinggung pelanggaran HAM/keadilan itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
  • Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak: tanpa menyinggung kebijakan pembangunan “bias pendatang” itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
  • Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak:tanpa menyinggung tuntutan rakyat Papua dewasa ini untuk berdialog yang juga didukung banyak kalangan di luar negeri itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
Kami berpendapat Pemerintah Indonesia sepakat dengan umat Tuhan di Tanah Papua bahwa Otonomi khusus telah gagal. Dan UP4B yang dibuat pemerintah yang statusnya lebih rendah dari UU Otsus ini adalah solusi sepihak dari pemerintah dalam menyelesaikan masalah Papua. Kapan pemerintah duduk mendengar jalan keluar yang disiapkan oleh umat Tuhan di Papua dalam menyikapi Otonomi Khusus yang gagal itu?

REKOMENDASI 

Dalam rangka menyikapi “bayi nasionalisme” yang lahir dalam konteks pemerintahan yang berwajah kekerasan di atas, kami Pimpinan Gereja di Tanah  Papua telah mengeluarkan Komunike Bersama Pimpinan Gereja (10 Januari 2011), Deklarasi Teologi (pada tanggal 26 Januari 2011) yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah gagal membangun orang asli Papua (kecuali melahirkan dan menyuburkan aspirasi Papua merdeka);  dan tidak punya niat  untuk memutuskan mata rantai kekerasan ini.
Sehingga untuk keluar dari lingkaran kekerasan ini, kami Pimpinan Gereja  mendukung pernyataan Bapak Presiden RI (pada 6 November 2004) saat menerima Delegasi Gubernur Provinsi Papua bahwa  masalah Papua akan diselesaikan secara adil, konprehensif dan bermartabat. Janji yang sama Bapak Presiden sampaikan dalam Pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2008, 16 Agustus 2010 dan yang terakhir pada tanggal 16 Agustus 2011 bahwa, “menata Papua dengan hati, adalah  kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua”. Dalam semangat ini dan ajaran Kitab Suci yang telah dikutip di atas, maka kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut.
(a)    Kami meminta Pemerintah membuka diri menggelar DIALOG yang inklusif, tanpa syarat, yang adil, bermartabat dan komprehensif dengan rakyat Papua, dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
(b)   Dalam rangka menuju dialog dimaksud, kami mendesak Bapak Presiden untuk segera:


  • b.1. menghentikan Operasi Tuntas Matoa 2011 yang sedang berlangsung di Paniai sejak tanggal 12 Desember yang telah menewaskan 14 orang, melukai puluhan lainnya dan membakar kampung-kampung;
  • b.2. Menarik pasukan non-organik dari Papua;
  • b.3. Membebaskan para tahanan politik; dan
  • b.4. Mencabut Peraturan Pemerintah No. 77/2007 tentang larangan penggunaan simbol-simbol bernuansa separatis di Aceh, Maluku dan Papua.

(c)    Agenda menyelamatkan Otsus Papua dan UP4B yang akan dijalankan, kami nyatakan sebagai kerja sepihak Pemerintah Indonesia yang tidak demokratis karena dilahirkan tanpa partisipasi rakyat Papua.
(d)   Dengan adanya nasionalisme Papua yang sudah terbangun lama dan dipicu oleh berbagai kekerasan dan ketidakdilan sistematis, maka kami Gereja-Gereja Papua menyampaikan kepada Bapak Presiden bahwa keinginan rakyat Papua untuk merdeka dan berdaulat telah mengkristal. Gereja-Gereja Universal dalam solidaritasnya dengan Gereja-Gereja dan suara Umat Tuhan di Tanah Papua telah merekomendasikan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right for self determination) rakyat Papua

Demikian pernyataan kami, Pemimpin Gereja-Gereja di Tanah Papua sebagai pesan profetis di hari Natal kepada rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia. Tuhan memberkati.


Jakarta, 16 Desember 2011
Hormat kami,



Ketua Sinode GKI di Tanah Papua



Pdt. Jemima  M. Krey, S.Th

Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua



Pdt. Dr. Benny Giay

Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua



Pdt. Socratez Sofyan Yoman, MA

Majelis Umum (Sinode Nasional) Gereja Kristen Alkitab Indonesia
Ketua Umum



Pdt. Dr. Martin Luther Wanma

Monday, November 28, 2011

Selesaikan Masalah Papua Secara Martabat

0 comments
Hari Senin, 28 November 2011, pukul 10.00, PGI mengadakan jumpa pers di Kantor Pusat PGI, Jl. Salemba Raya no. 10, Jakarta Pusat. Dalam jumpa pers tersebut hadir dari beberapa lembaga, antara lain:

  1. Pdt. Gomar Gultom, M.Th (Sekum PGI)
  2. Jeirry Sumampow (Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI)
  3. Daniel Randongkir (Elsham Papua)
  4. Pdt. Wellem Maury (PGGP)
  5. Usman Hamid (KontraS)
  6. Syamsul Alam (KontraS)
  7. Joshtin Telik (Sekum PP GMKI)

Dari hasil paparan narasumber, khususnya dari PGGP dan Elsham Papua, mereka memberikan kesimpulan sebagai berikut:

PGGP dan Elsham Papua berkesimpulan bahwa tragedi kekerasan yang sesungguhnya terjadi di Lapangan Zakeus Abepura pada 19 Oktober 2011, merupakan bentuk penyerbuan brutal oleh para aparat POLRI dan TNI terhadap rakyat Papua yang menyelenggarakan kegiatan politik secara damai. Polisi sama sekali tidak mengikuti ketentuan standar Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009, khususnya Pasal 10 dan 11.

Aparat TNI/POLRI diduga kuat telah: melakukan penembakan kilat yang menewaskan 3 orang dan melukai sedikitnya 2 orang; Menangkap dan menahan secara sewenang-wenang, serta melakukan penyiksaan terhadap sedikitnya 387 orang yang dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Papua; Mengintimidasi dan melakukan tindakan rasial melalui ucapan yang melecehkan umat Nasrani maupun Muslim termasuk ucapan yang merendahkan martabat manusia; Merusak fasilitas dan mencuri harta benda orang lain.

Berdasarkan keterangan fakta tersebut, kami menyerukan dan merekomendasikan:

  1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia segera membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia pasca pelaksanaan KRP III, serta mengkomunikasikannya dengan jajaran Menko Polhukkam agar ada pertanggungjawaban hukum yang terbuka melalui proses hukum yang adil.
  2. Pemerintah Selandia Baru agar meninjau kembali Perjanjian Kerjasama dengan Kepolisian Indonesia dalam mencegah dan memerangi Kejahatan Transnasional yang disetujui pada 7 Januari 2011.
  3. Pemerintah Australia agar meninjau kembali Nota Kesepahaman Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara dan Pengembangan Kerjasama Kepolisian yang disetujui pada 18 November 2005.
  4. Pemerintah Amerika Serikat agar meninjau kembali program International Military Education and Training (IMET) dengan pemerintah Indonesia, karena tidak berhasil menciptakan aparat yang menghargai prinsip dan nilai hak asasi manusia.
  5. Pemerintah Indonesia memberikan kesempatan bagi Amnesty International agar mengunjungi Papua dan bertemu dengan para tahanan politik.
  6. Pemerintah Indonesia segera mengundang Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Penyiksaan, Pelapor Khusus PBB tentang Penembakan Kilat, Pelapor Khusus PBB tentang Pencegahan Diskriminasi Rasial, Pelapor Khusus PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang dan Pelapor Khusus PBB tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan, agar berkunjung dan bertemu dengan para korban di Papua.
  7. Pemerintah Indonesia segera melakukan Dialog yang setara dan komprehensif, guna menyelesaikan akar permasalahan yang memicu terjadinya konflik di Papua selama lebih dari empat dekade.

Berikut ini Pernyataan Pers yang dikeluarkan PGI:


Editor: Boy Tonggor Siahaan

Monday, November 7, 2011

Berjuang Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan

0 comments
Konsultasi Teologi Nasional PGI di Wisma Bahtera, Cipayung (31 Oktober – 4 November 2011) telah berakhir. Para teolog, yang telah mengeluarkan tenaga dan pikirannya, telah menghasilkan rumusan rencana tindakan bagi gereja-gereja, umat Kristen di Indonesia, dan akademisi teologi.
Selengkapnya hasil rumusan Konsultasi Teologi Nasional PGI dapat dibaca di sini:

BERJUANG MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DAN KEADILAN
Konsultasi Teologi Nasional Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
Wisma Bahtera, Cipayung (31 Oktober – 4 November 2011)

1.      PENGANTAR
Saatnya telah tiba bagi gereja-gereja Indonesia, bersama dengan seluruh bangsa Indonesia, untuk menegaskan ulang kehidupan-bersama sebagai masyarakat yang majemuk, demi menuju masa depan yang penuh dengan damai sejahtera, sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Penegasan ulang kehidupan-bersama ini merupakan tindakan iman yang berakar pada keyakinan kepada Allah, yang dengan penuh kesetiaan berkarya bagi dunia yang diciptakan-Nya dan dicintai-Nya melalui Yesus Kristus, Kepala Gereja dan Juruselamat, serta di dalam kuasa Roh Kudus yang menghidupi seluruh ciptaan. Tindakan iman ini menjadi sebuah komitmen umat Kristen kepada bangsa Indonesia untuk ikut-serta merawat dan memperkaya kehidupan-bersamaKomitmen ini juga mendorong umat Kristen Indonesia untuk mengusahakan kehidupan-bersama tersebut di dalam persaudaraan dengan semua elemen bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku, agama, dan kelompok-kelompok sosial-kultural lain.
Bertolak dari komitmen tersebut, kami, peserta Konsultasi Teologi Nasional, telah berusaha bersama-sama berbagi pengalaman dan cerita, mendengarkan dengan segenap hati berbagai penderitaan yang dialami oleh anak bangsa, serta memahami dengan segala keterbatasan kami akar-akar persoalan kehidupan-bersama bangsa Indonesia. Keprihatinan ini telah kami gumuli bersama-sama melalui Konsultasi Teologi Nasional Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, yang berlangsung di Wisma Bahtera, Cipayung, pada tanggal 31 Oktober sampai dengan 4 November 2011. Konsultasi yang dilaksanakan dengan tema, “Berteologi dalam Konteks: Meretas Jalan menuju Perdamaian, Keadilan, dan Keutuhan Ciptaan,” diikuti oleh 168 orang dari seluruh Indonesia.
            Dari seluruh proses konsultasi tersebut, kami menyatakan keyakinan, pergumulan sekaligus pengharapan kami berkaitan dengan martabat manusia, perdamaian, dan keadilan antargereja dan antaragama, tanggapan atas kebijakan ekonomi Indonesia, serta undangan bagi gereja-gereja dan pendidikan teologi untuk kembali kepada kehidupan.

2.      MENEGASKAN ULANG MARTABAT MANUSIA
Umat Kristen Indonesia diperhadapkan pada kenyataan terjadinya perendahan martabat manusia dan pelanggaran hak asasi dalam segenap aspek kehidupan. Kami menyaksikan dan mengalami berbagai tindak kekerasan, seperti penindasan perempuan, penelantaran anak-anak dan usia lanjut, pengabaian aspirasi kaum muda, penolakan untuk hidup bersama dengan mereka yang berbeda (agama, suku, ideologi, orientasi seksual, dan sebagainya), pengingkaran hak-hak dasar masyarakat adat, serta perusakan lingkungan yang mengancam kehidupan. Keadaan ini diperparah oleh kerakusan sebagai salah satu roh zaman ini yang mendorong kecenderungan manusia untuk hanya memikirkan dirinya sendiri, yang sering kali berakibat pada pengabaian terhadap sesama ciptaan.
Kami menyaksikan juga semakin sistemiknya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, yang terjadi di berbagai aspek kehidupan-bersama. Semua usaha untuk memperkaya diri sendiri ini semakin memperparah proses pemiskinan bagi banyak rakyat Indonesia. Kami menyaksikan betapa ketidakadilan ini semakin lama semakin dianggap lumrah. Sanksi sosial dan kepastian hukum tidak berlaku lagi. Sebagian anggota masyarakat dan pemerintah bahkan membiarkan keadaan ini terus berlangsung.
Di tengah-tengah kenyataan ini, kami mengakui bahwa umat Kristen, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sering kali gagal mewartakan Injil perdamaian dan keadilan dan bahkan kerap menjadi pelaku dari proses perendahan martabat manusia.
Kami mengakui bahwa martabat setiap manusia di dalam dirinya diberikan oleh Allah Pencipta. Umat Kristen memahami kebenaran ini melalui Yesus Kristus, serta dialami di dalam kuasa Roh Pemberi Kehidupan. Tujuan hidup manusia adalah untuk mengambil bagian ke dalam kehidupan yang Allah berikan kepada seluruh ciptaan.
Tanpa hubungan dengan Allah, manusia tergoda untuk memusatkan hidup kepada dirinya sendiri dan dengan demikian mengalami perendahan martabat hidup. Dosa merupakan sebuah realitas yang nyata di mana hubungan antara manusia dan Allah rusak, yang berakibat pula pada rusaknya gambar-diri manusia, hubungan antara manusia dan sesamanya, dan hubungan dengan seluruh ciptaan lainnya.
Pemulihan hubungan tersebut dimungkinkan oleh karya pendamaian Yesus Kristus, Sang Gambar Allah, di dalam kuasa Roh Kudus. Kehidupan yang baru tersebut terwujud secara nyata melalui kehidupan-bersama yang diwarnai oleh perdamaian dan keadilan yang berwawasan keutuhan ciptaan. Inilah pusat dari Injil Yesus Kristus.
Sebagai persekutuan orang-orang percaya, gereja merupakan salah-satu tanda kehadiran dari misteri ilahi, yang mengundang seluruh ciptaan untuk mengambil bagian ke dalam karya perdamaian dan keadilan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari misi Allah bagi dunia, misi gereja harus dikerjakan dalam kerjasama yang saling menghargai dengan kelompok-kelompok lain. Keterlibatannya dengan dunia memberi kemungkinan ganda bagi gereja, baik untuk menghadirkan Injil, maupun untuk terjatuh ke dalam dosa dan kesalahan dunia. Itu sebabnya, gereja harus sungguh-sungguh menggantungkan diri pada anugerah Allah dan menaati undangan pertobatan untuk kembali kepada panggilannya.
Umat Kristen Indonesia dipanggil untuk berani menyampaikan suara kenabian yang kritis di tengah realitas perendahan martabat manusia, tanpa kehilangan kesediaannya untuk melakukan proses transformasi dan koreksi diri atas pemahaman dan praktik hidup yang berlawanan dengan nilai-nilai Injil yang berpusat pada kehidupan. Umat Kristen Indonesia perlu mempertegas keberpihakannya pada mereka yang direndahkan martabatnya, yang dikerjakan secara dialogis dan tanpa kekerasan dengan berbagai kelompok masyarakat.

3.      MERAYAKAN KEHIDUPAN-BERSAMA
Kami menyaksikan bahwa angka pertumbuhan dan pertambahan gereja telah meningkat pesat belakangan ini. Kini, tak semata-mata hanya ada PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), melainkan juga persekutuan-persekutuan antargereja lain, yang mulai saling mengakui dan menerima. Gerakan oikoumenis gereja-gereja di Indonesia, dalam komitmen untuk merayakan kehidupan-bersama, bahkan telah menghasilkan dokumen Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM-PGI). Dokumen ini merupakan tonggak penting gerakan keesaan gereja di Indonesia agar tidak semata-mata bergerak ke arah dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri. Perspektif oikoumenis ini tak dapat dilepaskan dari pengakuan akan adanya pluralitas teologi, tradisi dan praktik bergereja. Apa pun latar belakang denominasinya, gereja-gereja dipanggil untuk semakin menyatakan hakikatnya sebagai satu “tubuh Kristus.”
Namun, pengingkaran terhadap keberagaman dan perbedaan denominasi serta praktik bergereja masih berlangsung. Perbedaan pemahaman mengenai baptisan dan perpindahan warga ke gereja lain merupakan dua dari banyak contoh yang bisa membuat hubungan antargereja menjadi tegang. Kerjasama oikoumenis masih terbatas pada kegiatan-kegiatan seperti pertukaran pelayan mimbar, perayaan Paska dan Natal bersama, serta kehadiran dalam pertemuan atau konsultasi-konsultasi. Kerjasama yang lebih signifikan dan strategis masih sangat terbatas dan perlu ditingkatkan.
Di lingkungan agama-agama, keberadaan kelompok garis-keras memperlihatkan bahwa keberagaman agama-agama masih ditolak. Memang, sebagian besar orang mengakui adanya keberagaman identitas sosial, sekalipun diterima secara terbatas. Keberagaman dan perbedaan diakui, namun dilihat dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tak terjadi pergaulan yang saling memperkaya. Larangan beribadah dan penutupan rumah ibadah secara paksa oleh kelompok garis keras semakin banyak terjadi.
Kami mengecam campur-tangan negara ke dalam ranah kehidupan beragama, sebagaimana dicontohkan dari kasus-kasus perumusan dan pelaksanaan perda-perda bermuatan agama yang diskriminatif dan pelarangan agama-agama atau kelompok-kelompok agamawi yang tidak dianggap resmi oleh pemerintah. Umat Kristen Indonesia, bersama-sama dengan umat beragama lain, perlu menuntut penyelenggara negara untuk memenuhi tugas konstitusionalnya untuk menjamin kebebasan beragama, beribadah, dan mendirikan tempat beribadah.
Kami berjuang dan mendukung segala usaha untuk mengembangkan sikap proaktif dan positif dalam memahami umat beragama lain, membangun sikap hormat terhadap umat beragama lain, dan saling bekerjasama demi kebaikan bersama. Tembok-tembok pemisah dengan kelompok-kelompok yang berbeda harus diubah menjadi jembatan yang membawa perdamaian. Kami percaya bahwa pada dasarnya agama-agama mengajarkan kesetaraan, cinta-kasih, keadilan, dan perdamaian.

4.      MENUJU EKONOMI YANG ADIL DAN MEMANUSIAKAN MANUSIA
Keadaan ekonomi pada satu generasi terakhir menunjukkan bahwa kesejahteraan manusia Indonesia secara umum terus membaik dan bahwa sebagian warga Indonesia bahkan menjadi sangat sejahtera, tetapi sekaligus menunjukkan bahwa masih sangatbanyak rakyat Indonesia yang kurang atau bahkan tidak berhasil menikmati buah-buah pembangunan ekonomi. Fakta bahwa satu dari dua orang Indonesia masih berpenghasilan di bawah dua dollar per hari membuktikan bahwa kebijakan pembangunan Indonesia selama ini masih tidak berpihak kepada orang-orang miskin. Masih banyak kantong-kantong kemiskinan yang terabaikan.
            Kami menyaksikan banyak kebijakan yang lebih ditujukan untuk memfasilitasi kemajuan pertumbuhan ekonomi rakyat yang sudah sejahtera daripada mendorong pelebaran kesempatan bagi rakyat yang miskin untuk mengangkat diri mereka dari kemiskinan.
Sehubungan dengan ekonomi, teologi Kristen berpijak pada ketegangan di antara dua kutub pengalaman manusia, yaitu kenyataan kemiskinan yang meluas dan harapan kesejahteraan untuk semua orang. Sehubungan dengan kemiskinan, secara eksplisit Allahmemerintahkan para pemimpin rakyat untuk “melepaskan orang miskin yang berteriak minta tolong, orang yang tertindas … orang lemah, dan orang miskin”(Mzm72:12-14). Bahkan, secara spesifik, semua orang dilarang untuk “memeras pekerja harian yang miskin dan menderita” (Ul. 24:14). Dalam hal kesejahteraan, Allah menghendaki seluruh umat-Nya hidup di dalam kesejahteraan bersama dan mengupayakannya (bdk. Ul. 4:37-40; Yer. 29:7).
Kami mendesak para penyelenggara negara untuk mempertahankan, menciptakan, menerapkan, dan melanjutkan kebijakan-kebijakan ekonomi di tingkat nasional dan daerah yang memberi kesempatan yang sama bagi semua rakyat Indonesia dan berpihak kepada kelompok-kelompok rakyat yang paling miskin. Pemihakan ini harus dilakukan melalui dibukanya kesempatan seluas mungkin kepada orang miskin untuk menggapai kesejahteraan yang setinggi-tingginya.
Kami percaya bahwa semua orang berhak memperjuangkan kesejahteraan mereka sendiri, selama tidak merugikan ciptaan lain. Bersamaan dengan itu, kami mendesakkepada para penyelenggara negara untuk menghapuskan dan tidak membuat kebijakan-kebijakan yang menghambat pemerataan kesejahteraan dan yang secara diskriminatif hanya menguntungkan segolongan pihak, sementara banyak rakyat miskin menjadi korban.
            Kami menyerukan kepada umat Kristen Indonesia untuk menyatakan sikap pemihakan yang jelas bagi orang miskin, sikap kritis terhadap proses perumusan dan pemberlakuan kebijakan ekonomi, serta sikap hidup yang jujur, hemat, dan kerja keras. Seluruh sikap tersebut harus terwujud di dalam kehidupan pribadi, keluarga, komunitas, masyarakat, dan negara. Kami menegaskan perlunya sikap waspada atas dampak-dampak negatif dari sistem ekonomi pasar bebas dan kapitalisme.

5.      UNDANGAN UNTUK MEMIHAK KEHIDUPAN
Kami mengakui bahwa gerakan oikoumene (kebersamaan antargereja) yang dikembangkan di Indonesia ternyata baru sebatas kegiatan-kegiatan seremonial, namun belum terwujud ke dalam karya-karya sosial yang menjawab kebutuhan gereja dan masyarakat. Keadaan ini lebih diperparah dengan makin maraknya perpecahan yang terjadi di dalam tubuh gereja. Keadaan ini tidak bisa dilepaskan dari pendidikan teologi yang kurang merespons kebutuhan aktual warga gereja dan memelopori perkembangan teologi yang kontekstual.
Allah berpihak kepada kehidupan bagi semua ciptaan-Nya, terutama mereka yang  menderita, tersisih, dan tertindas. Dalam konteks Indonesia, respons kasih kepada sesama harus diarahkan kepada orang miskin, penganut agama-agama yang tertindas, daerah-daerah tertinggal dan perbatasan, pekerja migran, orang berkebutuhan khusus, korban bencana alam, orang yang hidup dengan HIV/AIDS, LGBT (lesbian, gay, biseksual, transjender/transseksual), kaum perempuan yang mengalami diskriminasi dan penindasan, para korban perdagangan manusia, dan masih banyak lagi. Kepedulian terhadap lingkungan yang sekaligus menjadi sumber penunjang kehidupan perlu diarahkan kepada pencegahan pengrusakan hutan tropis, pemunahan margasatwa, eksploitasi sumberdaya alam, polusi, dan pemanasan global.
Upaya untuk mengatasi dan merespons permasalahan tersebut membutuhkan cara berteologi yang baru, yang berkaitan dengan semangat oikoumenis dalam relasi dengan sesama ciptaan. Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM-PGI) yang sudah disepakati bersama dapat menjadi kerangka acuan bagi gerakan oikoumenis. Untuk itulah, kami percaya bahwa semua warga gereja, khususnya generasi muda, perlu diberi kesempatan untuk mengembangkan semangat oikoumenis melalui berbagai cara.
Perguruan teologi merupakan agen utama dalam mensosialisasikan dan mengembangkan cara-cara berteologi yang baru, sejalan dengan teologi sebagai ilmu yang terbuka untuk semua orang. Untuk itu, kami menyerukan agar perguruan teologi merevisi dan mengembangkan kurikulum yang dapat mengakomodasi perubahan yang sedang berlangsung. Dalam konteks ini perlu dikembangkan juga teologi feminis, teologi lingkungan, dan teologi agama-agama.

TIM PERUMUS:
Abraham Silo Wilar
Albertus Patty
Augustien Kaunang
Dien Sumiyatiningsih
Elga Sarapung
Joas Adiprasetya (ketua)
Olvi Prihutami
Rainy Hutabarat
Samsudin Berlian

Sumber: Bidang Koinonia PGI
Editor: Ir. Boy Tonggor Siahaan, S.Si (Teol.), M.Min 


Hentikan Kekerasan dan Segera Agendakan Dialog Jakarta - Papua

0 comments
Tanggal 7 November 2011, pkl. 10.00, di ruang sidang kantor PGI, Jl. Salemba Raya no. 10, Jakarta Pusat, PGI menggelar konferensi pers di mana MPH-PGI, dalam hal ini diwakili Sekretaris Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom, bersama staf sekretaris eksekutif lainnya mengeluarkan pernyataan pers terkait masalah kekerasan di Papua.
Berikut ini Pernyataan Pers PGI:

PERNYATAAN PERS
PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)

Hentikan Kekerasan Dan
Segera Agendakan Dialog Jakarta-Papua

Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam beberapa minggu terakhir eskalasi tindak kekerasan di Papua semakin tinggi. Khususnya terkait dengan berbagai aksi masyarakat sipil yang menyatakan ketidakpuasan atas keadaan yang mereka alami, baik unjuk rasa yang dilakukan oleh Serikat Pekerja di PT Freeport, Timika maupun aksi damai Kongres Papua III di Abepura, Jayapura pada 16-19 Oktober 2011 yang lalu.
Meski kedua aksi ini tidak terkait satu sama lain, namun Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) melihat bahwa hal ini akibat KEGAGALAN strategi pembangunan yang diterapkan Pemerintah R.I. atas warganya di Papua dan Papua Barat. PGI memandang bahwa Pemerintah telah gagal menyejahterakan rakyat Papua, yaitu penduduk asli Papua, secara menyeluruh. Pelaksanaan UU No. 21/th. 2001 tentang OTSUS Papua pun tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh Pemerintah R.I.
Alhasil, penduduk asli Papua masih merasa diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah dan merasa direnggut kemerdekaannya di tanahnya sendiri, bahkan diperlakukan secara tidak manusiawi oleh aparat keamanan karena dituduh berbuat makar. Sementara itu, Pemerintah mengijinkan kekayaan tanah Papua dieksploitasi tanpa membagi hasilnya secara adil kepada rakyat Papua. Itulah sebabnya mereka melakukan aksi unjuk rasa untuk meminta perhatian Pemerintah R.I. atas ketidakadilan yang mereka alami selama ini.
Namun disayangkan, Pemerintah R.I, melalui institusi POLRI dan TNI  justru menjawab berbagai aksi damai tersebut dengan pengerahan kekuatan militer yang berlebihan, khususnya atas peserta Kongres Papua III, yang mengakibatkan 3 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya luka-luka. Tidak lama berselang, pada 24 Oktober lalu kembali lagi terjadi pembunuhan putra Papua, yaitu AKP Dominggus Awes, Kapolsek Mulia oleh dua orang tak dikenal. Dan kembali lagi, pada 2 November kemarin, anggota TNI dari Pos Kurukulu Batalyon 759 di Jayawijaya melakukan penyisiran yang diserta penyiksaan terhadap warga sipil setempat.
Atas berbagai kejadian tersebut, PGI menyatakan penyesalan atas tindak kekerasan yang terjadi dan menyatakan belasungkawa kepada keluarga korban meninggal yang ditinggalkan.
Melalui pernyataan ini, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia menyerukan:
1.      Agar semua pihak menghentikan segala bentuk tindak kekerasan di Papua dan Papua Barat karena lingkaran kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan namun hanya akan mengakibatkan persoalan baru;
2.      Meminta Bapak Presiden RI, Dr. H. Susilo B. Yudhoyono untuk menghentikan seluruh operasi militer, termasuk menghentikan penyisiran dan penganiayaan terhadap warga Papua pasca peristiwa kekerasan pada Kongres Rakyat Papua III;
3.      Meminta realisasi konkret perkataan Presiden RI, Dr. H. Susilo B. Yudhoyono, untuk melakukan pendekatan dengan hati dan komunikasi konstruktif untuk membangun Papua;
4.      Agar segera dilakukan dialog Jakarta-Papua sebagai komitmen untuk menyelesaikan persoalan kekerasan di Papua;
5.      Mendesak Presiden agar Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B) sesegera mungkin dapat melaksanakan upaya-upaya strategis bagi penyelesaian masalah di Papua secara damai.

Jakarta, 7 November 2011
Atas nama
Majelis Pekerja Harian - PGI


Pdt. Gomar Gultom
Sekretaris Umum

Friday, June 3, 2011

Gereja dan Politik di Tanah Papua Barat

0 comments

Oleh : Socratez Sofyan Yoman

(Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB,  pernah berkata: “…dalam realita kalau sudah menyangkut pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional” (Sumber:  Frans Sihol Siagian & Peter Tukan. Voice of the Voiceless (Suara Kaum tak Bersuara). Jakarta: Penerbit Obor, 1997, hal. 127.)

Para pembaca opini yang mulia dan terhormat, kutipan seruan moral dan suara kenabian di atas ini disampaikan dalam konteks terjadinya  kejahatan kemanusiaan, ekonomi, politik  dan kebudayaan  pada waktu Indonesia menduduki dan menjajah tanah dan rakyat Timor Leste.  Peristiwa yang sama yang sangat kejam dan memprihatinkan juga terjadi di Tanah Papua Barat ini sejak 19 Desember 1961 melalui Maklumat TRIKORA sejarah aneksasi Papua Barat, 1 Mei 1963 adalah peristiwa dimulainya roh kebohongan dan malapetaka,  PEPERA 1969  adalah  kejahatan kemanusiaan dan konspirasi yang menghancurkan hak politik penduduk asli Papua dan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus adalah selimut pembungkus pembohongan yang menyembunyikan kejahatan kemanusiaan,  ekonomi, politik, dan kebudayaan   yang telah berlangsung   selama satu abad (50 tahun)  setelah Tanah Papua dan rakyat Papua dianeksasi,diduduki dan dijajah oleh Indonesia.  

Tidak menjadi rahasia umum, bahwa penduduk asli Papua, pemilik dan penerus Negeri dan Tanah ini, ditempatkan sebagai musuh Negara oleh Pemerintah Indonesia dengan stigma anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka), tetapi istilah OPM itu telah kami tingkatkan status dan pengertiannya ialah Otonomi, Pemekaran dan Merdeka (OPM). Penduduk asli Papua diberikan stigma anggota separatis dan pembuat makar. Stigma OPM, Separatis dan Makar benar-benar menjadi surat ijin resmi bagi aparat keamanan Indonesia untuk menangkap, menculik, menyiksa, membunuh, memenjarakan penduduk asli Papua.

Di atas Tanah Papua, tanah yang Firdaus, Tanah yang diberkati Tuhan  yang berbentuk burung Cenderawasih ini telah dipenuhi dengan tulang belulang, tetesan darah dan cucuran air mata umat Tuhan yang tertindas dan teraniaya. Domba-domba Allah dibantai seperti hewan buruan atas nama kepentingan dan keamanan nasional, dan jargon sekarang  adalah kepentingan NKRI.

Berhubungan dengan kenyamanan dan keselamatan umat Tuhan, Uskup Belo pernah mengungkapkan: “Saya sungguh paham akan norma-norma Gereja Katolik yang mengharuskan seorang pemimpin agama menjauhi politik praktis yang konkret, hal mana merupakan bidang spesifik dari kaum politisi. Akan tetapi, selaku seorang uskup, saya mempunyai kewajiban moral untuk menyuarakan suara dari kaum miskin dan kaum sederhana, apabila diintimidasi dan diteror, tidak berdaya membela diri mereka sendiri atau menjadikan maklum penderitaannya. Gereja selalu harus berpihak pada manusia, nilai-nilai kebebasan, demokrasi, keadilan sosial, martabat manusia. Itu universal.” (Siagian & Tukan, 1997:239,129).
Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, sebagai seorang gembala dengan tegas   pernah menyatakan keyakinan imannya  sebagai berikut:  “Posisi Gereja Katolik di Timor Timur, pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur. Pada situasi ini, pilihan-pilihan yang dianjurkan oleh Gereja adalah pilihan untuk melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap pilihan ini karena percaya bahwa pilihan terhadap referendum adalah pilihan demokratis yang mampu mengakomodasikan seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Timor Timur” (Sumber:  Demi Keadilan dan Perdamaian, Peter Tukan-Domingos de Sousa, 1997:hal. 338). Belo melanjutkan, “Dasar fundamental adalah martabat manusia, martabat rakyat Timor-Timur. Kenapa saya selalu tidak suka siksaan, penangkapan, dan pembunuhan? Justru karena manusia Timor-Timur ini diciptakan Tuhan untuk hidup, jadi martabatnya itu yang harus dijunjung tinggi walaupun berbeda agama dan visi politik.” (Siagian & Tukan, 1997:163).

Dalam buku yang berjudul Demi Keadilan dan Perdamaian, Uskup Belo juga  pernah menyatakan: “Gereja merasa diri identik dengan rakyat, Gereja dalam menjalankan misinya tidak pernah serta tidak boleh bersikap acuh tak acuh atau asing terhadap perubahan-perubahan historis dari rakyat yang sama” (sumber: Tukan dan de Sousa: hal.105). Selanjutnya, Uskup  Belo mengatakan: “Untuk apa kita harus merendahkan orang lain hanya karena kita tidak suka padanya? …saya hanya melakukan tugas saya sebagai pastor yang memperhatikan martabat teman manusia, yang bekerja menurut Injil untuk perdamaian, keadilan, dan kebenaran” (Siagian dan Tukan, hal. 191-192)

Sedangkan  Uskup Dom Helmer Camara seorang Gembala umat  di Brazil dalam bukunya Spiral Kekerasan dengan tepat mengatakan: “Gereja menjadi satu-satunya organisasi publik yang tidak dikendalikan lansung oleh kediktatoran. Harapan para tahanan politik didasarkan pada Gereja, satu-satunya institusi di Brazil yang tidak dikendalikan oleh negara militer.” (Dom Helder Camara. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,hal.16, 19).

Sementara  Uskup Monsinyur Oskar Romero di El Savador  pernah menyatakan: “Gereja dianiaya sebab ia mengecam dosa. Gereja berkata kepada orang kaya: Jangan berbuat dosa dengan menyalahgunakan uangmu. Gereja berkata kepada penguasa: Jangan menyalahgunakan pengaruh politikmu. Jangan menyalahgunakan senjatamu. Jangan menyalahgunakan kuasamu. Kalian semua berdoa, kalian berbuat kesalahan. Kalian membangun pemerintahan neraka di bumi.” (Susan Berman, ed. Para Martir, Kisah-Kisah Kontemporer Pergumulan Iman dalam Dunia Modern. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009:85).  “Aku mohon, aku minta, aku memerintah kalian dalam nama Allah: Hentikan penindasan!” ( hal. 90).“Aku harus mengatakannya kepadamu bahwa aku tidak percaya akan kematian, tetapi akan kebangkitan. Jika membunuhku, aku akan hidup terus di dalam hati rakyat Salvador”(hal. 76).

Kehadiran gereja  di Tanah Papua dalam misi Pekabaran Injil, sejak tanggal 5 Februari 1855, tidak terlepas dari tantangan demi tantangan, gelombang demi gelombang, badai demi badai, dan kemelut politik serta kompleksitas permasalahannya. Misalnya, sejarah diintegrasikannya (digabungkannya) Papua ke dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan dengan stigma-stigma yang melecehkan martabat dan kehormatan umat Tuhan seperti separatis, pembuat makar, atau anggota OPM.
Umat Tuhan (rakyat Papua) telah, sedang, dan terus mengalami suatu ketidakadilan sejarah, ketidakadilan hukum, dan karenanya merupakan ketidakadilan kemanusiaan. Secara hukum, diintegrasikannya Papua ke dalam Indonesia bermasalah. Oleh karena itu, Gereja harus memperbaiki kesalahan sejarah itu dengan terang Firman Tuhan, Injil Yesus Kristus sebagai kekuatan Allah karena Gereja adalah benteng terakhir untuk mempertahankan, melindungi, menggembalakan, menjaga integritas dan kehormatan manusia. (bersambung)

Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

Friday, April 8, 2011

Akhirnya Kantor MD GPdI Papua Dibuka

0 comments

Setelah Lalui Negosiasi Lama Dengan Pengurus Demisioner


Pdt. Timotius Dawir, S.Th, saat menunjukan surat dari GPdI Pusat yang menyatakan menolak surat permohonan pengurus MD GPdI Lama, dan meminta segera menyerahkan asset GPdI kepada MD GPdI yang baru.JAYAPURA - Ketua Majelis Daerah Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Papua, Pdt. Timotius Dawir, S.Th, mengatakan, setelah melalui negosiasi lama (Selama 5 bulan) dengan pengurus MD GPdI Papua demisioner, tidak membuahkan hasil, akhirnya pihaknya membuka pintu kantor dengan GPdI Papua, pada Sabtu (7/4).
  “Kami negosiasi dengan pengurus lama selama 5 bulan, tapi pengurus lama tidak mau kasih kunci, akhirnya pintu-pintu kami bongkar dan gantikan dengan kunci-kunci yang baru,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Sabtu (7/4).
Pembongkaran kunci kantor GPdI dimaksud tidak lain berdasarkan hasil Mukerda GPdI Papua pada 30 Oktober 2012 lalu, Musda GPdI pada 6-9 Februari 2013, dan surat dari GPdI Pusat tertanggal 4 Februari 2013 lalu, yang salah sejumlah poinnya menyatakan, pertama, MD GPdI Papua periode 2007-20012 harus menyerahkan kantor, inventaris MD GPdI kepada MD GPdI Papua yang baru periode 2012-2017.
Kedua, MD GPdI periode 2007-2012 harus menyerahkan saldo keuangan kepad MD yang baru periode 2012-2017. Kedua, perpuluhan Hamba-Hamba Tuhan GPdI Papua harus dikirim kepada MD GPdI Papua yang baaru periode 2012-2017.
Ketiga, MD GPdI Papua periode 2007-2012 akan diperiksa pertanggungjawaban keuangannya oleh BPK GPdI karena ditengarai ada permasalahan. Sebab berdasarkan laporan dari Biro Mental Spiritual Provinsi Papua bahwa ada temuan BPK RI Perwakilan Papua, adanya penyalagunaan dana bantuan sosial keagamaan tahun 2011-2012, yang diperuntukan bagi GPdI Papua.
Keempat, dari 36 wilayah GPdI, 24 wilayah menolak pertanggungjawaban keuangan MD GPdI periode 2007-2012, itu berarti 2/3 wilayah yang hadir di forum Musda, meminta pertanggungjawaban yang transparan, terutama tentang penggunaan dana Otsus yang jumlahnya mencapai Rp 2 M.
“Kami mohon GPdI lama jangan susahkan GPdI, jadi tolong buat laporan pertanggungjawaban yang baik,  supaya GPdI tidak dikenakan sangsi dari pemerintah.  Dalam surat GPdI Pusat dinyatakan saya terpilih secara sah dan dilantik dengan Doa oleh utusan majelis pusat GPdI,” tandasnya.
Terhadap hal itu, mengenai semua asset MD GPdI Papua, pihaknya meminta kepada pengurus MD GPdI lama supaya jika segala asset yang ada padanya bukan menjadi milik pribadinya, sebaiknya segera serahkan ke GPdI untuk dipergunakan demi kepentingan pelayanan bagi jemaat Tuhan yang menjadi warga GPdI.
Ditambahkannya, dirinya mengharapkan kepada pengurus MD GPdI lama yang adalah bapak-bapak GPdI dapat bekerjasama dengan pihaknya untuk membangun dan melayani warga GPdI yang lebih baik kearah peningakatn iman kepada Tuhan.
Perlu diketahui, bahwa GPdI Papua memiliki 347 jemaat, 43 Majelis jemaat, 9 Komisi Daerah, 400 pimpinan daerah, 347 Gereja, 1500 majelis wilayah, dan 70 ribu warga GPDI. (nls/aj/lo2)

Senin, 08 April 2013 06:18, Sumber BintangPapua.com
 

The Gospel of Melanesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com